Saturday, October 6, 2012

Seujung Kuku yang Membisikan Rindu

           
Purnama tetap ada. Hatikulah yang tak ada. Diterbangkan bayu ke ujung samudra...~

" You chase rainbows, i gaze starlight. We will never be the same again...~ "
.: ~ Adhitia Sofyan - Rainbows and Starlight ~ :. 


Sejatinya, tulisan kali ini bukanlah asli tulisan saya. Tulisan kali ini merupakan salah satu catatan yang terdapat di halaman Facebook teman saya. Dan saya pikir, alangkah lebih baiknya jika saya sendiri bisa membagi isi catatan tersebut agar bisa dilihat banyak orang dan tidak hanya dilihat melalui catatan di Facebook saja. Meskipun itu artinya saya hanya menyalin kembali catatan orang lain saja, tapi jika itu sesuatu yang baik, kenapa tidak?



" Seujung Kuku yang Membisikan Rindu "

      Jika pun dibilang kapal pecah, biarlah. Dia sudah sungguh tak peduli dengan keadaan kamarnya yang maha berantakan. Seprai yang tak terpasang pada tempatnya, baju yang bertumpuk dan malang melintang mana suka, juga buku-buku yang tak terhitung banyaknya itu bertebaran bagai kapas diobrak-abrik angin.

         Padahal tak seperti biasanya ini terjadi. Dia sungguh tahu makna kerapian dan kebersihan. Dia pun sangat paham arti penting keteraturan. Dia hanya sedang lupa dan amnesia terhadap keadaannya. Tertidur menjelang dini dan tergeragap bangun saat beker bernyanyi di pukul lima.

        Tuntutan kerja dari kantor makin membuatnya menjadi tak peduli. Berangkat saat matahari sudah tengadah dan baru kembali saat malam beranjak tua. Tak ada yang bisa mencegahnya melakukan ritme itu. Tunggu. Tak ada yang bisa mencegahnya melakukan itu sebelum seminggu lalu tepatnya. Dia punya alasan kenapa ia harus berangkat pagi dan pulang saat larut benar-benar menjemput.

          “Kamu tuh gila apa? Orang lain aja kerja gak seekstrim kamu tahu!”
        Satu suara mengingatkan, saat untuk kesekian kalinya dia baru benar-benar pulang saat angka jam sudah tak waras menunjukan dua digit terakhir.
         “Heh! Kerjaan gak akan ada habisnya tau. Kenapa pula kamu selalu pulang jam segini? Kan masih bisa dikerjakan esok hari.”

         Banyak yang menegurnya. Banyak pula yang menyarankannya agar segara beranjak dan tak lagi memperhatikan pekerjaannya. Tapi dia punya alasan untuk melakukan semuanya. Kamuflase. Berlindung di balik kerjaan untuk sesuatu yang ia ingin hindari. 

          Jam sepuluh. Ia menarik napas panjang. Dibukanya facebook dan menatap pemberitahuan yang muncul dengan warna merah mencolok. Hmm.. ada kiriman di dindingnya.

         Kau masih merindu purnama? Ia tak lagi ada kawan. Siklusnya sudah berganti menjadi bulan mati. 

       Tipis digulirkannya senyum. Seorang kawan. Sudah biasa berakrab-akrab dan menebak-nebak. Tapi sungguh, kali ini tebakkannya salah.

         Purnama tetap ada. Hatikulah yang tak ada. Diterbangkan bayu ke ujung samudra.

        Tulisnya menimpali. Absurd memang.

        Hanya lima menit waktu yang dhabiskannya untuk sekedar menyapa dunia maya. Ditutupnya laptop dan dibenahinya buku-buku yang terserak di mejanya. Ia lirik lagi jam di pergelangan tangannya dan memutuskan menunda kepulangan. Lagi. Seperti biasa.

***

        “Buku ini tuh bagus banget tauuu. Alur ceritanya complicated, tokohnya gak dibuat-dibuat, plotnya juga asyik. Udah baca?”

         Dia melirikkan matanya sejenak, melihat sampul buku itu, lantas mengangguk sedikit.

        “Terlalu dramatis. Kehidupan tak selebay dan seekstrim itu. Alurnya terlalu biasa dan datar.”
       Dia beranjak menjauh dari kumpulan pebincang buku itu. Cukup. Harinya sudah terlampau pepat dihabiskan dengan mengomentari ini itu, menyuruh ini itu, dan memastikan semua pekerjaan bawahannya tepat sesuai rencana. Dia sadar, akhir2 ini, mulutnya kadang terlampau pedas dalam menimpali. Tak sedikit yang kena omelannya meski akhirnya mereka memang menyadari kesalahannya. Tak peduli bahwa di belakangnya, mereka sedang mendelik karena selalu tak pernah ada yang sempurna di matanya.

        “Heran deh! Sombong banget sih jadi orang! Kalo udah punya karya sih mending. Ini? Nulis aja kagak!”
         “Lah, dia kan instingnya gitu kalee. Lo lihat facebooknya. Aneh gitu kan statusnya?”
         “Dasar penyihir!”
         “Pahit lidah!”“
         “Raja sapi!”
         “Heh? Raja sapi? Apaan?”
         “Dia kan chubbi gitu, haha”
         “Halaah!”
         “Tapi  elu suka kan? Buktinya, lo selalu ngelikee status dia!”
         “Itu bukan suka.. “
         “Tapiiii?”
         “Menghargai…”
         “Dudul! Sama aja, ucriiit!”
         Dan tawa menggema di ruangan mereka.

***

         Kau tahu, seujung kuku ku ternyata menyembunyikan rindu…

        Dia mengatupkan matanya. Udara di dalam ruangan gerah. Ac sudah lama mati dan ia belum berinisiatif memanggil OB untuk segera memperbaikinya ke tukang service. Dia menikmati siliweran angin dari kipas kecil yang sengaja ditaruh di atas meja kerjanya.

        Tak banyak waktu tersisa. Aku sudah seperti ilalang kehilangan padang. Sebentar lagi punah dimakan resah.

        Tangannya merogoh sebuah buku dari tas kerjanya. Buku besar berwarna hijau toska dengan hiasan tinta kecil di sampulnya. Unforgetable moment. Tercetak tulisan ini dengan warna dasar coklat yaang timbul dan bersambung.

         Sudah satu buku. Tak kusangka. Kenangan tentang semuanya terekam jelas di sini. Aku harus membenahi semuanya sendiri kini. Menutup buku dan melirihkan selamat tinggal pada masa lalu.

        Dia bergumam lirih. Matanya sendu menatapi rangkaian hurup yang tercetak di buku itu. Sesekali, matanya menerawang. Menengok ingatan di masa yang talah lampau berjalan.

           Kali ini, aku harus benar-benar merelakan…

***

           Percakapan itu memang tiba pada saatnya.

          Akhir bulan ini, insya Allah aku bersegera…

        Matanya menatap nanar. Meski sudah diprediksi, hatinya tak siap dengan kemungkinan yang tampak.Baik, tak apa. Ia menulis cepat.

         Melangkahlah. Doaku untuk setiap hela yang kau sapa.

        Sungguh, ia tak butuh tangisan. Ia hanya merasa sesak. Perasaan lunglai itu menyergapnya seketika tanpa ampun. Ia terima tapi tak tanggap dengan kesiapan hatinya menerka realita. Dia menatap layar laptop yang berdenyar dan seketika sadar; akan ada yang hilang di hari-harinya.

         Parahnya, dari hatinya. 

***

         Seujung kuku mendesaukan rindu yang tak lagi kenal tuju...

1 comment:

  1. Tidak salah yah disibukkan diri dgn kerjaan bila mana kita rasa sedih dan kecewa. Dari kita buat onar menambahkan berat masalh keduanya. Career satisfaction is the best revenge on the disappointment to your routine life. Yah.. terpulang kpd penerimaan masing2 jgk.. cuma kena dilebihkan sabar bg mengelakkan perkataan yg tidak sedap didengar ketika diri telah terlalu lelah mungkin.. berdoa kpd Allah.. hanya Dia penolongmu..

    ReplyDelete